Adibusana memang hanya untuk segelintir orang paling kaya di dunia, tetapi dengan biaya yang tinggi untuk pembuatan satu pakaian maka imajinasi pun dapat dikembangkan bebas.
Dalam asal-usul kelahirannya, tidak semua baju mahal dan dikerjakan satu per satu dapat disebut adibusana. Di Paris, fantasi dan imajinasi menjadi tulang punggung adibusana dengan dukungan keterampilan pengerjaan adibusana yang sudah melalui waktu satu abad dan ketersediaan materi terbaik.
Chanel, misalnya. Karl Lagerfeld sebagai perancang rumah mode itu untuk adibusana musim gugur dan dingin 2008-2009 terinspirasi pipa organ dari saat dia menonton sebuah konser. Ide itu dia transfer ke dalam panggung pergelaran berupa pipa metalik yang diberdirikan hingga mencapai langit-langit Grand Palais.
Ke dalam gaun, inspirasi itu diterjemahkan menjadi pipa-pipa mungil yang diletakkan mengelilingi pinggang menyerupai obi, di lengan, atau di kerah. Semua dikerjakan dengan keterampilan tinggi adibusana.
Meskipun demikian, imajinasi tidak selalu dapat mewujud ke dalam karya yang diharapkan karena hasilnya dapat memberi efek sintetis, berat, dan aneh.
Di Dior, perancang rumah mode itu, John Galliano, memberi penghormatan kepada Christian Dior. Artinya, gaun New Look Dior yang terkenal pada tahun 1950-an diolah untuk perempuan masa kini. Inspirasinya, karya foto Irving Penn tentang model yang kemudian menjadi istrinya, Lisa Fonssagrives.
Galliano menggunakan banyak potongan asimetris karena ”membuat gaun-gaun itu bergerak dengan cara yang berbeda”. Teknik pelintir pada ponco, gaun putih berlapis tulle hitam, hingga gaun malam berekor dipotong asimetris.
Gaun-gaun itu ramping di pinggang dan rok mengembang dengan material amat lembut yang dibuat khusus di atelier Dior dalam warna lembut musim semi. Dari gaun tulle beraplikasi garis kulit coklat atau wol hingga sulam katun di atas organsa halus, Galliano membuat rancangan yang dapat dikenakan perempuan nyata. Itu sebabnya, Carla Sarkozy memilih gaun buatan Dior.
Denim dan kasmir
Di Givenchy, perancang Ricardo Tisci menggunakan Peru sebagai latar rancangannya. Warna coklat tembakau dan beige, sweater alpaka bermotif etnis, jaket kulit penerbang, dan bot koboi (gaucho) mungkin tidak menggambarkan gemerlapnya Paris, tetapi itulah tujuan Tisci.
Tisci menggunakan materi yang ”biasa” seperti denim hingga yang mewah seperti sutra jersei, chinchilla, dan kasmir. Jaket panjang kulit yang diberi lilin di bagian dalamnya dilapisi bulu alpaka. Tisci menyajikannya untuk gaun pagi dan siang hari, gaun cocktail, hingga gaun malam yang anggun sesuai citra rumah busana itu.
Fantasi pula yang dihadirkan Christian Lacroix. Bunga dan warna cerah menjadi ciri khasnya, tetapi kali ini temanya taman seisinya. Sulam di stoking semata kaki, gaun sifon biru-hijau sayap kepik, dan wol bertabur kristal adalah salah satu wujudnya.
Di rumah adibusana Valentino, perancang Alessandra Faschinetti mendapat sambutan hangat untuk debut pertamanya dalam merancang adibusana. Faschinetti mendapat inspirasinya dari pelukis Van Dyke yang mewujud dalam skema warna yang kaya dan gaun bervolume, tetapi diwujudkan untuk masa kini. Hasilnya, gaun yang organis dan bernuansa fiksi sains.
Jean-Paul Gaultier mengambil inspirasinya dari musik eketrik ”fluo kid” dan film Tron yang diputar tahun 1980-an tentang seorang hacker yang terperangkap dalam permainan komputer.
Gaultier yang butik produk siap pakainya hadir di Jakarta awal tahun ini berhasil bertahan selama 11 tahun di dalam adibusana, menandakan adibusana belum akan mati seperti kekhawatiran pada awal abad ini. Bahkan dalam kondisi ekonomi saat ini, muncul wajah-wajah baru, antara lain Anne Valerie Hash, Maurizio Galante, dan Alexis Mabille.
Saat ini hanya 11 rumah busana yang mendapat izin dari Kementerian Industri Perancis untuk menyebut diri produk mereka adibusana, setelah lolos dari persyaratan amat ketat.(kompas)